banner 720x220

Pendamping Desa Terancam Nasibnya karena Efisiensi Anggaran

Dengan kebijakan efisiensi yang diterapkan pemerintah, nasib ribuan tenaga pendamping desa kini berada di ujung tanduk.

Ilustrasi gambar pendamping desa sedang bekerja di kantor desa. Gambar by: AI.
Ilustrasi gambar pendamping desa sedang bekerja di kantor desa. Gambar by: AI.

Ciamis, Kondusif – Pemotongan anggaran kembali menjadi perbincangan hangat, kali ini menyasar program pendamping desa yang selama ini menjadi ujung tombak pembangunan di daerah. Dengan kebijakan efisiensi yang diterapkan pemerintah, nasib ribuan tenaga pendamping desa kini berada di ujung tanduk.

Menurut Muhamad Alif, seorang pengamat kebijakan publik dari Ciamis, langkah pemotongan anggaran ini bisa berdampak serius pada keberlanjutan pembangunan di desa.

“Pendamping desa bukan hanya fasilitator, mereka adalah jembatan antara kebijakan pemerintah dengan realitas di lapangan. Jika ada pemangkasab anggaran atas honor mereka terhambat, bisa kita pastikan efektivitas pembangunan desa juga akan terganggu,” ujar Alif kepada Kondusif, Kamis (13/2).

Lebih lanjut, Pemerintah, melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025, telah memangkas anggaran di berbagai kementerian, termasuk Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT).

Dari total pemotongan sebesar Rp722,7 miliar, sebanyak Rp554 miliar berasal dari alokasi honorarium para pendamping.

Dampaknya, pendamping desa yang sebelumnya mendapatkan gaji selama 12 bulan kini hanya akan menerima honor selama 10 bulan.

Di sisi lain Menteri Desa, Yandri Susanto, mengakui situasi ini cukup berat dan pihaknya sedang mengupayakan tambahan anggaran dari Kementerian Keuangan agar hak para pendamping tetap terpenuhi.

Peran Vital Pendamping Desa yang Terancam

Melansir dari data Kemendes, saat ini, terdapat sekitar 35 ribu pendamping desa di seluruh Indonesia yang bertugas memastikan program pembangunan desa berjalan sesuai rencana. Mereka mendampingi kepala desa dalam perencanaan, pengelolaan anggaran, serta pelaksanaan berbagai proyek infrastruktur dan pemberdayaan masyarakat.

Namun, dengan efisiensi anggaran ini, motivasi para pendamping bisa menurun. Kendari itu, Muhamad Alif menilai, pemotongan ini bukan hanya persoalan kesejahteraan, tetapi juga keberlanjutan program desa.

“Jika honor mereka dipotong, bukan tidak mungkin akan ada eksodus tenaga pendamping yang merasa tidak lagi dihargai. Padahal, merekalah yang selama ini memastikan pembangunan desa tetap berjalan,” jelasnya.

Alif berharap, pemerintah dapat mengevaluasi kembali kebijakan ini. Jika efisiensi memang harus dilakukan, sebaiknya ada solusi lain yang tidak mengorbankan para tenaga pendamping.

“Desa adalah ujung tombak pembangunan nasional. Jika desa maju, maka perekonomian secara keseluruhan akan ikut tumbuh. Pemerintah harus lebih bijak dalam menentukan prioritas anggaran,” pungkasnya.

Kini, ribuan pendamping desa di seluruh Indonesia hanya bisa berharap agar upaya dan dedikasi mereka selama ini tetap mendapatkan perhatian. Mereka bukan sekadar pekerja, tetapi bagian penting dari keberlanjutan pembangunan negeri ini.

banner 720x220

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *