banner 720x220

Politik Gentong Babi: Taktik Lama dengan Risiko Baru di Tahun Politik

Menguak Konsep Politik Gentong Babi dan Resiko di Balik Suara Konstituen

Politik Gentong Babi Korbankan Suara Konstituen Tanpa Ampun
Politik Gentong Babi Korbankan Suara Konstituen Tanpa Ampun

Ciamis, Kondusif – Politik gentong babi atau pork barrel politics kembali mencuat di Indonesia, terutama setelah menjadi topik utama dalam film dokumenter Dirty Vote.

Ahli hukum tata negara, Bivitri Susanti, menjelaskan, “Ada satu konsep dalam ilmu politik yang bisa kita gunakan, yakni gentong babi atau pork barrel politics.”

Konsep ini mengacu pada praktik politisi menggunakan anggaran publik untuk proyek-proyek di daerah pemilihannya demi meningkatkan peluang terpilih kembali.

Sejarah politik gentong babi memiliki akar kelam di Amerika Serikat, di mana istilah ini merujuk pada praktik budak saling berebut daging babi asin dari gentong sebagai bentuk imbalan.

Dalam konteks modern, penggunaan konsep ini untuk menggambarkan alokasi anggaran publik yang cenderung boros dan bersifat populis.

Kaitan Politik Gentong Babi dan Pemilu 2024

Menjelang Pemilu 2024, politik gentong babi diduga semakin marak.

Peneliti Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Gurnadi Ridwan, menyoroti lonjakan anggaran perlindungan sosial tahun 2024 yang mencapai Rp496,8 triliun.

“Tanpa adanya urgensi seperti masa pandemi, lonjakan ini patut kita pertanyakan,” kata Gurnadi.

Ia menambahkan bahwa peningkatan anggaran tersebut berpotensi dimanfaatkan untuk memperkuat elektabilitas kandidat yang dekat dengan kekuasaan.

Hal ini semakin kuat dengan data tingkat kemiskinan yang telah menurun dan perbaikan ekonomi nasional, yang seharusnya mengurangi kebutuhan akan lonjakan anggaran perlindungan sosial.

Risiko Demokrasi dan Kesenjangan Sosial

Dosen hukum kepemiluan, Titi Anggraini, memperingatkan bahaya politik gentong babi yang merusak integritas demokrasi.

“Program-program bantuan yang dekat dengan masa pemungutan suara dapat memanipulasi persepsi publik dan mempersulit pemilih membedakan antara program negara dan janji politik kandidat,” ujarnya.

Senada dengan Titi, Egi Primayoga dari Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan hal yang tak jauh beda.

“Penggunaan dana publik untuk tujuan elektoral mengaburkan garis antara tanggung jawab negara dan kepentingan politik individu” ujarnya.

banner 720x220

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *