KONDUSIF – Visi besar telah digariskan. Ciamis 2030 diharapkan menjadi daerah yang maju dan berkelanjutan, dengan sinergi sebagai ruh pembangunan. Bupati Ciamis menegaskan bahwa kolaborasi antara kebijakan pemerintah, masyarakat, dunia usaha, akademisi, dan media adalah kunci untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi yang ambisius: menembus angka 7%.
Namun, di tengah gaung sinergi yang digemakan, sebuah kebijakan justru hadir sebagai ironi. Keputusan Bupati (Kepbup) tentang pengecualian informasi publik seolah menjadi tembok yang menghalangi transparansi fondasi utama dari sinergi yang sehat.
Menafsirkan Sinergi: Harapan dan Tantangan
Dalam dokumen perencanaan daerah, sinergi didefinisikan sebagai kerja sama yang saling menguatkan untuk mencapai tujuan secara optimal. Model pentahelix yang melibatkan lima elemen pemerintah, sektor swasta, akademisi, media, dan masyarakat dianggap sebagai strategi efektif dalam menggerakkan pembangunan daerah.
Namun, apakah model ini hanya akan menjadi teori belaka?
Dari data pertumbuhan ekonomi Ciamis yang dalam tiga tahun terakhir justru mengalami perlambatan (5,3% pada 2022, 5,04% pada 2023, dan diproyeksikan 4,92% pada 2024), sinergi yang digadang-gadang seharusnya menjadi instrumen nyata dalam mengakselerasi pertumbuhan. Jika keterbukaan informasi sebagai salah satu aspek krusial dalam tata kelola yang baik justru dikebiri, bagaimana mungkin harapan akan percepatan pembangunan bisa terealisasi?
Pengecualian Informasi: Membuka Celah Monopoli Kebenaran
Kepbup Ciamis Nomor 500.12/Kpts.26-HUK/Sek/Tahun 2024, yang ditandatangani Sekda Andang Firman Triyadi, menjadi titik kontroversi. Kebijakan ini membatasi akses publik terhadap informasi, terutama laporan keuangan pemerintah daerah yang hanya dapat diakses setelah audit selesai.
Padahal, dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), pemerintah daerah diwajibkan mengumumkan laporan keuangan secara berkala, minimal setiap enam bulan sekali. Artinya, kebijakan ini tidak hanya bertentangan dengan regulasi di atasnya, tetapi juga melemahkan prinsip akuntabilitas yang seharusnya dijunjung tinggi dalam pemerintahan yang demokratis.
Lebih jauh, alasan yang digunakan dalam kebijakan ini pun terkesan subjektif dan tendensius: “untuk membantu keberhasilan pembangunan dan mencegah penyalahgunaan oleh pihak yang tidak berkepentingan.”
Bukankah badan publik memiliki mekanisme verifikasi bagi pemohon informasi? Mengapa pendekatan yang diambil adalah pembatasan total, alih-alih selektif? Jika audit hanya dilakukan setahun sekali, bagaimana masyarakat bisa mengawasi penggunaan anggaran di tengah tahun berjalan?
Yang lebih mengkhawatirkan, Kepbup ini bukan satu-satunya. Ada pula Keputusan Bupati No: 800.1.11.1/Kpts.Or-Bakesbangpol.01 Tahun 2024 yang ditandatangani Kepala Badan Kesbangpol Ciamis. Ini membuka kemungkinan bagi setiap SKPD untuk menyusun daftar informasi yang dikecualikan di instansinya masing-masing, dengan legitimasi kepbup yang bisa mereka tandatangani sendiri.