Bahkan, ketika publik mendapatkan akses ke draf RUU, DPR justru mengklaim bahwa dokumen yang beredar bukan versi resmi. Ini semakin memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap proses legislasi yang sedang berlangsung.
Tak hanya itu, pembahasan RUU TNI dilakukan di lokasi tertutup, bahkan di hotel dengan pengamanan tinggi, membuatnya semakin jauh dari prinsip keterbukaan.
DPR dan Pemerintah Tetap Kukuh
Meski kritik semakin deras, Komisi I DPR tetap membawa RUU ini ke rapat paripurna. Semua fraksi di Komisi I sepakat untuk melanjutkan pembahasan di tingkat berikutnya.
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Rizki Aulia Rahman Natakusuma, menegaskan bahwa fraksinya mendukung revisi UU TNI, tetapi dengan catatan bahwa supremasi sipil tetap harus dijaga.
“Penempatan prajurit aktif di jabatan sipil harus dibatasi dan mengikuti prinsip meritokrasi agar tidak mengancam profesionalisme sipil,” ujarnya.
Selain itu, ia menyoroti perlunya perencanaan sumber daya manusia (SDM) yang matang dalam TNI, termasuk batas usia pensiun dan mekanisme kaderisasi yang lebih baik. Jika tidak dirancang dengan baik, revisi ini justru bisa menghambat regenerasi dalam tubuh TNI sendiri.
Antara Kepentingan dan Masa Depan Demokrasi
Dengan berbagai kejanggalan prosedural, minimnya transparansi, dan potensi kemunduran supremasi sipil, revisi UU TNI menjadi isu yang sangat sensitif. DPR dan pemerintah tampaknya ingin bergerak cepat, tetapi di sisi lain, masyarakat sipil tak henti-hentinya mengingatkan bahwa setiap perubahan hukum harus selaras dengan semangat reformasi.
Jika RUU ini benar-benar disahkan dalam kondisi seperti ini, bukan tidak mungkin Indonesia akan menghadapi babak baru dalam dinamika sipil-militer yang lebih kompleks. Pertanyaannya, apakah ini langkah maju atau justru kemunduran demokrasi? Hanya waktu yang akan menjawab.