Ciamis, Kondusif – Dalam kamar yang temaram, Wisnu Wicaksono (bukan nama sebenarnya) duduk dengan tatapan serius. Di hadapannya, sebuah buku terbuka, lembarannya penuh catatan kecil yang ia buat sendiri. Malam itu, ia tenggelam dalam pemikiran, merenungi isi buku Nicotine War karya Wanda Hamilton.
Bukan tanpa alasan Wisnu begitu mendalami buku ini. Nicotine War bukan sekadar bacaan biasa, tetapi sebuah investigasi tajam tentang perang kepentingan antara industri farmasi dan industri tembakau. Buku ini membuka mata Wisnu tentang bagaimana isu kesehatan yang selama ini digaungkan dalam kampanye anti-tembakau ternyata tidak lepas dari permainan bisnis berskala global.
Perang Nikotin: Kesehatan atau Bisnis?
Sejak dekade 1960-an, kampanye anti-tembakau semakin gencar dilakukan di berbagai belahan dunia. Rokok digambarkan sebagai musuh kesehatan nomor satu, penyebab utama berbagai penyakit mematikan. Namun, melalui buku ini, Hamilton mengungkap bahwa di balik kampanye tersebut ada kepentingan industri farmasi yang berusaha menguasai pasar terapi pengganti nikotin (NRT), seperti permen karet dan plester nikotin.
Hamilton menyajikan data dan bukti bahwa banyak penelitian tentang bahaya rokok didanai oleh perusahaan farmasi. Tujuannya bukan sekadar untuk mengedukasi masyarakat, tetapi juga untuk membentuk opini yang menguntungkan bisnis mereka. Lebih jauh, ia menunjukkan bagaimana organisasi kesehatan dunia, termasuk WHO, sering kali mengeluarkan kebijakan yang sejalan dengan kepentingan industri farmasi.
Wisnu terhenyak saat membaca bagian tentang bagaimana industri farmasi secara sistematis mendorong kebijakan ketat terhadap rokok, tetapi di sisi lain, justru mempromosikan produk alternatif berbasis nikotin yang mereka produksi sendiri. Ini bukan hanya soal kesehatan masyarakat, melainkan perang bisnis bernilai miliaran dolar.
Dampak Global dan Relevansi di Indonesia
Bagi Wisnu, Nicotine War tidak hanya relevan dalam konteks global, tetapi juga mencerminkan realitas di Indonesia. Sebagai salah satu negara penghasil tembakau terbesar di dunia, Indonesia memiliki jutaan orang yang menggantungkan hidup pada industri ini, mulai dari petani tembakau, buruh pabrik rokok, hingga pedagang eceran.
Salah satu aspek yang jarang dibahas dalam perdebatan tentang regulasi tembakau adalah Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT). Dana ini berasal dari cukai rokok dan dialokasikan untuk berbagai sektor, termasuk kesehatan, pendidikan, serta kesejahteraan petani dan buruh rokok.
Sebagai contoh, berikut adalah besaran DBHCHT yang diterima beberapa provinsi utama penghasil tembakau di Indonesia:
- Jawa Timur – Lebih dari Rp3 triliun per tahun
- Jawa Tengah – Sekitar Rp1,5 triliun per tahun
- Nusa Tenggara Barat (NTB) – Sekitar Rp500 miliar per tahun
Dana ini sangat berpengaruh terhadap perekonomian daerah. Namun, semakin ketatnya regulasi anti-tembakau berpotensi mengurangi penerimaan DBHCHT, yang pada akhirnya bisa berdampak pada kesejahteraan masyarakat yang menggantungkan hidup pada industri ini.