Bupati juga menyampaikan apresiasi dan terima kasih kepada sesepuh, budayawan, tokoh masyarakat, juru kunci, serta panitia yang telah berperan menjaga kelestarian jamasan.
Ia berharap doa dan upaya bersama ini membawa keberkahan.
“Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan taufik, hidayah, dan inayah-Nya dalam membangun umat yang berbudaya, gemah ripah lohjinawi, bahagia lahir maupun batin,” ujarnya.
Dorongan Pemda untuk Pelestarian Budaya
Sekretaris Disbudpora Ciamis, Hendri Ridwansyah, menilai tradisi jamasan bukan hanya ritual, tetapi juga sarana edukasi sejarah.
“Dengan tradisi ini, minimal menginformasikan tentang sejarah Galuh. Ke depan dapat memberikan kebanggaan dan motivasi bagi generasi muda,” jelasnya.
Hendri menambahkan, di Ciamis hampir setiap pelosok memiliki situs budaya atau kabuyutan yang terus dijaga masyarakat.
“Kami dari pemerintah daerah mendorong masyarakat untuk terus melestarikannya. Ini bentuk nyata pemajuan kebudayaan,” pungkasnya.
Makna Filosofis dan Warisan Tak Benda
Bagi masyarakat Tatar Galuh, jamasan bukan sekadar mencuci pusaka, melainkan simbol pembersihan diri dan penghormatan kepada leluhur.
Sebagai bagian dari Warisan Budaya Tak Benda (WBTB), jamasan menjadi pengingat pentingnya menjaga nilai agama, melestarikan lingkungan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pelestarian tradisi ini juga sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Dengan demikian, jamasan Jambansari menjadi identitas budaya Ciamis yang harus terus diwariskan dari generasi ke generasi.