Ciamis, kondusif.com – Sulam Kopi, Aroma kopi bubuk yang pekat memenuhi ruangan kecil itu, seolah membawa waktu mundur ke lereng-lereng hijau Ulu Belu, Tanggamus, Lampung.
Di tempat sederhana di Dusun Loasari, Desa Bangunsari, Kecamatan Pamarican, Ciamis, seorang pria bernama Mulayono memandang gumpalan kopi hasil gilingannya sendiri sebuah seduhan dari ingatan, akar, dan kerinduan yang tak pernah layu.
“Saya tidak tumbuh bersama orang tua,” kenangnya pelan.
“Tapi setiap libur sekolah, saya pulang ke Lampung. Di sanalah akar saya.”
Mulayono lahir di Tasikmalaya, namun hatinya terbelah dua: antara tanah Sunda yang membesarkannya dan Lampung yang membentuk nadinya.
Saat kelas 1 dan 2 SD, ia sempat hidup di tanah kelahiran para petani kopi, lalu kembali ke Tasik, kemudian ke Bogor untuk menyelesaikan pendidikan.
Hingga akhirnya takdir membawanya menetap di Ciamis, bersama perempuan yang kini jadi istrinya.
Tapi ada yang tak ikut tertinggal: kisah tentang kopi. Kisah yang sudah tumbuh sejak ia masih kecil, meski jauh dari pelukan orang tua.
Warisan dari Tanah: Aroma yang Tak Pernah Hilang

“Orang tua dan keluarga besar saya petani kopi di Lampung. Dari kecil saya terbiasa melihat proses tanam, panen, sampai pengolahan kopi,” ucapnya.
Tiga hektare kebun kopi di Lampung adalah sekolah kehidupannya yang pertama.
Di sana, ia belajar bahwa kopi bukan sekadar hasil tani. Tapi cermin ketekunan, warisan, dan rasa hormat pada tanah.
Kini, setelah dewasa, ia ikut memetik kopi robusta langsung dari kebun milik keluarga.
Kemudian, kopi-kopi itu diolah di Lampung, lalu dibawa ke Ciamis untuk dijual.