Ciamis,kondusif.com,– Fenomena aparatur sipil negara (ASN) di Kabupaten Ciamis yang menjadikan Surat Keputusan (SK) Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) sebagai jaminan pinjaman bank kian mencuat.
Padahal, TPP secara regulasi bukan penghasilan tetap, melainkan insentif berbasis kinerja dan kondisi fiskal daerah.
Pertanyaannya: mengapa dokumen yang sifatnya fluktuatif bisa diperlakukan sebagai agunan perbankan?
90 Persen SK TPP Ciamis Sudah Digadaikan
Pengamat kebijakan publik asal Ciamis, Dedi Setiabudi, mengungkapkan bahwa praktik ini sudah meluas.
“Dugaan saya hampir 90 persen SK TPP ASN di Ciamis sudah dijadikan jaminan pinjaman ke bank. Bahkan ada bank yang dengan terbuka menawarkan fasilitas kredit berbasis SK TPP,” ungkap Dedi, Jumat (22/8/2025).
Menurutnya, animo ASN sangat tinggi karena proses pencairan cepat dan plafon pinjaman relatif besar.
Hal itu membuat SK TPP seolah berubah fungsi dari dokumen administratif menjadi aset cair.
Celah Regulasi dan Kepercayaan Buta
Dedi menegaskan, Peraturan Bupati Ciamis Nomor 6 Tahun 2025 hanya menyebutkan bahwa TPP diberikan berdasarkan kinerja, disiplin, beban kerja, dan kondisi keuangan daerah.
Perbup Ciamis Nomor 6 Tahun 2025
Pembayaran bisa berkurang, bahkan terhenti, bila ASN terkena sanksi atau fiskal daerah terganggu.
“Artinya, SK TPP secara hukum fiskal tidak bisa dijadikan jaminan. Itu hanya dokumen turunan yang nilainya bisa naik turun. Tapi bank tetap berani terima karena mereka percaya ASN sebagai debitur aman. Ini soal trust, bukan soal regulasi,” tegasnya.
Risiko Ganda: ASN dan Daerah Menanggung Beban
Fenomena ini menurut Dedi sangat berisiko.
“ASN yang menjaminkan SK TPP berarti berhutang dengan penghasilan yang tidak pasti. Kalau kinerja mereka turun, atau APBD defisit, TPP bisa terpangkas. Bank tetap menagih cicilan, meski ASN tak lagi menerima penuh hak TPP,” jelasnya.
Di sisi lain, lanjut Dedi, pemerintah daerah juga ikut terbebani.
“Ada beban moral. Pemda terpaksa menjaga pembayaran TPP demi kelancaran cicilan kredit ASN, bukan semata-mata untuk memacu kinerja. Jadi TPP bergeser dari instrumen motivasi jadi penopang budaya hutang,” katanya.
Budaya Hutang ASN yang Mengakar
Dedi menilai fenomena SK TPP sebagai agunan mencerminkan mentalitas konsumtif ASN.
“ASN merasa statusnya sebagai pegawai tetap itu sudah jadi jaminan hidup. Semua insentif dan tunjangan dianggap bisa digadaikan. Kalau tidak diatur, budaya hutang ASN akan semakin mengakar,” ujarnya.
Ia menambahkan, normalisasi SK TPP sebagai agunan membuat ASN semakin nyaman berhutang, sementara dampaknya bisa menghantam fiskal daerah.
Perlu Regulasi Tegas dan Edukasi Finansial
Dedi menegaskan, pemerintah daerah tidak bisa menutup mata terhadap fenomena ini.
“Sudah waktunya ada regulasi tegas yang melarang SK TPP dipakai sebagai agunan. Selain itu, ASN perlu edukasi finansial agar bijak mengelola pendapatan. Kalau dibiarkan, TPP yang seharusnya jadi pemacu kinerja malah berubah jadi jebakan hutang,” tegasnya.
Menurut Dedi, beberapa daerah sudah menutup celah ini dengan aturan tambahan.