Ciamis, Kondusif– Di dunia jurnalistik Indonesia, Uji Kompetensi Wartawan (UKW) sering disebut sebagai tolok ukur profesionalisme seorang jurnalis. Sertifikasi ini digadang-gadang sebagai penentu kemampuan seorang wartawan dalam menghasilkan berita yang kredibel, berimbang, dan sesuai dengan kode etik jurnalistik. Namun, realitas di lapangan tidak selalu sejalan dengan idealisme tersebut.
Tidak sedikit wartawan yang telah mengantongi sertifikat UKW, tetapi karya jurnalistik mereka masih jauh dari standar yang diharapkan. Tulisan-tulisan mereka kadang terasa kering, minim kedalaman, dan bahkan sekadar menjadi berita permukaan tanpa substansi yang kuat. Sebaliknya, ada juga wartawan yang belum mengikuti UKW tetapi mampu menghasilkan laporan investigatif yang tajam, penuh riset, dan menggugah kesadaran publik.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan besar yakni, apakah UKW benar-benar bisa dijadikan sebagai satu-satunya parameter dalam menilai kualitas seorang jurnalis? Ataukah ada faktor lain yang lebih esensial, seperti integritas, pengalaman, serta ketajaman dalam menggali fakta dan menyajikannya dengan cara yang menarik dan berbobot?
Di tengah arus informasi yang semakin deras, masyarakat semakin cerdas dalam menilai kualitas berita. Pada akhirnya, bukan sekadar sertifikasi yang akan berbicara, tetapi bagaimana seorang wartawan mampu menghadirkan karya yang benar-benar berarti bagi publik.
UKW dan Paradoks Kualitas Jurnalistik
Kamsul Hasan, Ahli Pers Dewan Pers dan Ketua Bidang Kompetensi Wartawan PWI Pusat, mengungkap fakta menarik terkait hubungan antara UKW dan kualitas jurnalisme.
“Banyak wartawan yang telah lulus UKW tetapi kualitas jurnalistiknya rendah. Sebaliknya, ada pula wartawan yang belum mengikuti UKW tetapi menghasilkan karya berkualitas tinggi,” ujar Kamsul Hasan. Kamis, (30/11/2023).
Ini menunjukkan bahwa penentuan kompetensi jurnalistik tidak semata-mata oleh sertifikasi, tetapi lebih pada pengalaman, etos kerja, serta kemampuan dalam menggali dan mengolah informasi dengan baik.
Regulasi Versus Kenyataan di Lapangan
Meskipun Dewan Pers menegaskan bahwa UKW bukan syarat mutlak untuk menjadi wartawan, beberapa lembaga pemerintah dan instansi masih mensyaratkan sertifikasi ini sebagai dasar kerja sama dengan media.
Padahal, dalam praktiknya, ada banyak wartawan bersertifikat yang justru kurang memahami prinsip-prinsip dasar jurnalistik, seperti verifikasi berita, netralitas, dan penggunaan sumber yang kredibel.
Di sisi lain, banyak wartawan independen atau mereka yang bekerja di media alternatif mampu menunjukkan profesionalisme tanpa harus mengikuti UKW.
Hal ini mengindikasikan bahwa sertifikasi saja tidak cukup untuk menjamin kualitas jurnalisme yang baik.
Perbandingan dengan Regulasi yang Berlaku
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menyebutkan bahwa pers yang bebas dan bertanggung jawab adalah pilar demokrasi.
Dalam Pasal 9 ayat (2), menyebutkan bahwa setiap perusahaan pers harus berbadan hukum, tetapi tidak ada ketentuan bahwa perusahaan pers wajib mendaftar di Dewan Pers.
Selain itu, Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/I/2023 tentang Pendataan Perusahaan Pers menyebutkan bahwa pendataan bersifat sukarela dan bukan kewajiban.
Namun, beberapa instansi pemerintah hanya mengakui media yang telah terverifikasi di Dewan Pers, sehingga menimbulkan diskriminasi bagi media independen.