Setiap langkah yang Heri buat seperti masuk ke ladang ranjau. Waktu berpikir yang makin lama hanya membuat jebakan Rifa makin rapi.
Bahkan di akhir game, Heri sempat mengusap wajahnya dengan napas berat, lalu berkata, ‘Kayaknya saya perlu pensiun dari papan catur dan fokus nulis puisi saja.”
Tim redaksi tak kuasa menahan tawa, apalagi ketika Heri mengangkat tangan tinggi-tinggi dan berkata,
“Saya nyerah! Tapi hanya di catur, bukan dalam hidup!”
Rifa pun menutup pertandingan dengan rendah hati.“Ini bukan soal menang-kalah, tapi soal silaturahmi. Tapi ya… kalau menang terus juga nggak apa-apa sih,” ujarnya sambil tertawa.
Meski kalah mutlak, Heri tetap jadi juara dalam semangat dan sportivitas.
Kekalahan 13-0 itu malah menciptakan momen kebersamaan yang tak akan dilupakan. Bukan hanya adu strategi, tapi juga adu tawa, adu gaya, dan adu mental.
“Hari ini saya kalah, besok siapa tahu saya jadi komentator catur saja. Lebih aman,” tutup Heri sambil mengepalkan tangan ke langit bukan tanda kemenangan, tapi tekad untuk belajar lebih keras (atau cari lawan yang lebih mudah).
Heri memaparkan, semua perwira lawan termasuk pati nya udah dikunci. Udah mumpuni, menguasai menakan Rifa udah dalam tekanan tapi dia piawai memanfaatkan kelalaian.
“Saya sudah berpikir keras, direktur Kondusif sudah dalam tekanan sudah tidak ada cela untuk menyerang tapi dia berhasil membalikkan keadaan,” pungkasnya.