“Pengawasan harus delegatif dan normatif, tidak hanya internal seperti inspektorat atau Dinas Kesehatan. Masyarakat dengan latar belakang gizi maupun keuangan juga bisa ikut berperan,” jelas Hendra.
Ia menekankan, kualitas dan higienitas harus dijamin sejak proses produksi makanan.
Namun, menurut catatannya, dari puluhan dapur MBG di Ciamis, baru dua yang memiliki Sertifikat Laik Higien Sanitasi (SLHS), yaitu dapur RSUD dan dapur Lapas Ciamis.
“Regulasinya sebenarnya sudah ada, yakni Permenkes Nomor 14 Tahun 2021. Jadi harus ada kejelasan regulasi agar penerima manfaat benar-benar mendapat makanan yang higienis,” kata Hendra.
Potensi Limbah Jadi Ancaman
Selain higienitas, Hendra menyoroti dampak lingkungan.
Menurutnya, dapur MBG yang berada di tengah pemukiman berpotensi menghasilkan limbah makanan yang mencemari lingkungan jika tidak dikelola dengan baik.
“Setiap dapur harus punya instalasi pengolahan air limbah (IPAL) yang layak. Jangan sampai Ciamis yang dikenal sebagai kota kecil terbersih se-ASEAN tercemar hanya karena limbah sisa makanan,” ujarnya.
Hendra menambahkan, program MBG sejatinya tidak hanya soal kesehatan, tetapi juga bisa memberi dampak ekonomi bagi masyarakat lokal.
Karena itu, ia menilai pengawasan ketat, kejelasan regulasi, dan partisipasi masyarakat mutlak diperlukan agar program nasional ini berjalan sesuai harapan.