Selain menyebabkan kelelahan ekstrem, beberapa tentara yang kecanduan metamfetamina bahkan menjadi lebih agresif, melakukan kejahatan perang terhadap warga sipil, atau bahkan menyerang perwira mereka sendiri.
Dari Obat Diet hingga Narkotika Berbahaya
Setelah perang berakhir, metamfetamina kembali muncul dalam bentuk farmasi. Pada tahun 1950-an, perusahaan farmasi Obetrol Pharmaceuticals mulai memasarkan obat berbasis metamfetamina dengan nama Obetrol. Obat ini dipromosikan sebagai pil diet yang ampuh, mengingat efeknya yang bisa menekan nafsu makan. Popularitasnya meluas di Amerika Serikat pada era 1950-an hingga 1960-an, hingga akhirnya sifat adiktif dari metamfetamina mulai terungkap.
Karena dampak buruknya, pemerintah mulai melakukan regulasi ketat terhadap produksi dan distribusi obat ini. Saat ini, metamfetamina masih tersedia dalam dunia medis dengan nama dagang Desoxyn, yang sebelumnya dimiliki oleh perusahaan farmasi Denmark, Lundbeck, sebelum akhirnya dijual ke perusahaan farmasi Italia, Recordati, pada 2013.
Namun, metamfetamina dalam bentuk rekreasional yang dijual secara ilegal jauh lebih berbahaya. Produksi, distribusi, dan kepemilikannya telah dilarang di banyak negara. Badan PBB bahkan menetapkan metamfetamina sebagai zat psikotropika golongan II dalam Konvensi tentang Zat Psikotropika.
Upaya Menanggulangi Dampak Metamfetamina
Dalam upaya mengatasi dampak buruk narkotika ini, penelitian terus dilakukan. Salah satu studi terbaru menunjukkan bahwa kalsitriol, metabolit aktif vitamin D, dapat membantu melindungi otak dari efek neurotoksik akibat penggunaan metamfetamina.
Namun, solusi terbaik tetaplah pencegahan. Kesadaran masyarakat tentang bahaya sabu-sabu harus terus ditingkatkan agar tidak terjerumus dalam jeratan narkotika ini. Apa yang dulu digunakan sebagai alat perang, kini telah menjadi ancaman besar bagi generasi muda di berbagai belahan dunia.