Siang itu, ia tiba di sebuah home industry kerupuk jengkol di Dusun Ancol 2, Desa Sindangkasih. Dengan harapan besar, ia menawarkan tampirnya kepada Bu Entin, pemilik usaha tersebut. Matanya berbinar ketika Bu Entin membeli beberapa tampir darinya.
“Alhamdulillah, dari pagi keliling baru Bu Entin yang beli,” ujarnya dengan senyum kecil yang terlihat samar di wajahnya yang penuh keriput.
Ia tahu, dagangannya semakin sulit laku. Sedikit demi sedikit, tampir mulai kehilangan peminat. Zaman berubah, dan benda-benda tradisional seperti tampir mulai tergeser oleh plastik dan mesin. Tapi Maksum tak punya pilihan lain. Selama kakinya masih bisa melangkah, ia akan terus berjalan.
Potret Ketangguhan yang Terlupakan
Matahari semakin condong ke barat, tapi perjalanan Maksum belum selesai. Dengan nafas terengah-engah, ia kembali memikul tampirnya dan melangkah menuju desa berikutnya.
Di zaman serba modern ini, pekerjaan seperti yang dilakukan Maksum mungkin dianggap tidak layak. Anak-anak muda kini lebih memilih bekerja di kantor, menikmati kesejukan ruangan ber-AC, dan menggenggam teknologi di tangan mereka.
Tapi Maksum adalah bukti bahwa perjuangan tak selalu mudah, dan tak selalu nyaman. Tak ada jaminan bahwa esok hari ia akan mendapat pembeli, tak ada kepastian bahwa ia akan membawa pulang cukup uang. Tapi satu hal yang pasti, ia tidak menyerah.
Di pundaknya bukan hanya tampir, tetapi juga harga diri. Ia mungkin hanya seorang pria tua yang berjalan sendirian, tapi semangatnya lebih besar dari langkah kaki siapa pun. Dan di balik tubuh ringkihnya, ada pelajaran hidup yang mungkin sudah dilupakan banyak orang: bahwa hidup adalah tentang bertahan, seberapa pun beratnya.