Ia juga mengungkapkan bahwa hingga kini Ciamis belum memiliki lembaga perlindungan anak yang memadai.
Akibatnya, korban kekerasan atau pelecehan sering kali harus dititipkan ke lembaga di luar daerah.
“Selama ini anak-anak korban dikirim ke Bandung atau Tasikmalaya. Tapi kadang di sana malah memperburuk kondisi mental mereka,” ungkapnya.
Ijuddin menilai penting adanya fasilitas rehabilitasi khusus bagi korban LGBT di Ciamis. Menurutnya, banyak pelaku berawal dari korban yang tidak tertangani secara psikologis.
“Orang yang sudah jadi korban biasanya bisa jadi pelaku di kemudian hari. Karena itu perlu ada rehabilitasi dan pendampingan psikolog klinis di Ciamis,” jelasnya.
Namun, ia mengingatkan bahwa upaya pemulihan tidak selalu menjamin keberhasilan jika pola pembinaan masih bersifat minimal.
“Saya tidak bisa menjamin anak-anak yang direhabilitasi akan sembuh total kalau sistemnya masih setengah hati. Tapi paling tidak, kita harus berusaha meminimalisir,” ujarnya.
Dia juga menegaskan bahwa persoalan LGBT harus dihadapi secara komprehensif, mulai dari pembinaan keluarga, peran sekolah, hingga dukungan psikologis dan hukum.
“Ini bukan sekadar isu moral, tapi tanggung jawab bersama untuk menyelamatkan generasi muda,” pungkasnya.