Mayoritas adalah pemerkosaan beramai-ramai yang dilakukan di depan umum.
“Ini bukan cerita fiksi. Ini fakta pahit yang dibayar mahal oleh tubuh perempuan,” katanya.
Menurutnya, pengakuan Presiden Joko Widodo bahwa tragedi ini termasuk dalam 12 pelanggaran HAM berat adalah tonggak penting.
Namun, Intan menekankan, pengakuan saja tidak cukup tanpa ada proses hukum dan pemulihan hak korban.
Kekerasan yang Sistemik, Bukan Spontan
Ispa Siti Nurjanah, Ketua KOPRI Ma’arif Al-’Asy’ary, membawa pembacaan historis yang lebih dalam.
Ia menilai kekerasan pada Mei 1998 sebagai letupan akumulatif dari rezim Orde Baru yang otoriter.
“Kerusuhan itu bukan spontan. Ada sistem dan kepentingan di balik kekerasan terhadap etnis Tionghoa,” ujar Ispa.
KOPRI PMII Unigal Menolak Diam: Pendidikan Kritis sebagai Perlawanan
Diskusi ini tak sekadar mengenang tragedi. Ia menjadi ruang politik bagi mahasiswi untuk menyusun narasi tandingan terhadap penghapusan sejarah.
Mira Miranti menyampaikan harapannya agar diskusi semacam ini bisa direplikasi di banyak ruang komunitas.
“Kita tidak ingin sejarah ditulis oleh para penguasa yang alergi pada kebenaran,” ujarnya.
Para peserta sepakat: sejarah tak boleh ditutup kabut, apalagi dibungkam oleh kuasa politik.
Menggugat narasi resmi, menyuarakan korban, dan terus mengedukasi publik adalah bagian dari tugas generasi muda hari ini.