Lebih lanjut, KPK juga menemukan dugaan pengurangan anggaran makanan yang diterima siswa.
“Kami mendapat laporan bahwa dari alokasi Rp10.000 per porsi, hanya sekitar Rp8.000 yang benar-benar digunakan untuk makanan. Ini tentu berimbas pada kualitas makanan yang diterima siswa,” tegasnya.
Respons BGN dan Tantangan Transparansi
Menanggapi berbagai kritik ini, Kepala BGN, Dadan Hindayana, menyatakan pihaknya akan mengevaluasi program MBG agar lebih transparan. Namun, hingga kini belum ada penjelasan rinci terkait dominasi produk Mayora dalam menu makanan yang diberikan.
Sebastian Salang menekankan bahwa transparansi menjadi kunci dalam pengelolaan program ini.
“BGN harus menjelaskan kepada publik mengapa lebih memilih bekerja sama dengan korporasi besar dibanding UMKM. Selain itu, karena anggarannya sangat besar, pengelolaannya harus transparan agar tidak menjadi celah korupsi,” tandasnya.
Lebih jauh, Sebastian mengingatkan bahwa MBG merupakan program prioritas Presiden Prabowo Subianto. Jika terjadi masalah dalam implementasinya, bukan tidak mungkin kredibilitas presiden yang akan dipertaruhkan.
Beredarnya foto-foto menu MBG di media sosial, yang memperlihatkan produk Mayora seperti Energen dan biskuit Roma Kelapa, semakin menguatkan dugaan adanya monopoli dalam pengadaan makanan program ini.
Di satu sisi, keterlibatan korporasi besar memang dapat memastikan distribusi yang lebih cepat dan efisien. Namun, di sisi lain, jika hal ini dilakukan dengan mengorbankan UMKM, maka program MBG justru bertolak belakang dengan tujuan awalnya.
Dengan sorotan tajam dari berbagai pihak, kini tinggal menunggu bagaimana BGN merespons polemik ini. Akankah ada perbaikan kebijakan agar UMKM bisa lebih berperan? Ataukah dominasi perusahaan besar tetap tak tergoyahkan? Jawabannya akan sangat menentukan arah kebijakan pangan dan ekonomi rakyat di masa mendatang.