KONDUSIF – Pemerintah kembali menegaskan komitmennya dalam pemberantasan korupsi dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 43 Tahun 2018. Aturan ini memberikan insentif bagi masyarakat yang melaporkan kasus dugaan korupsi, dengan imbalan maksimal Rp 200 juta. Langkah ini diharapkan dapat mendorong partisipasi publik dalam mengungkap praktik korupsi yang selama ini sulit terdeteksi.
Dalam aturan tersebut, pelapor akan mendapatkan 0,2 persen dari total kerugian negara, dengan batas maksimal Rp 200 juta. Sementara itu, untuk kasus suap, preminya sebesar 0,2 persen dari hasil lelang barang rampasan, dengan nilai maksimal Rp 10 juta. Penilaian terhadap kelayakan premi dilakukan paling lama 30 hari sejak jaksa menerima salinan putusan pengadilan.
Namun, pertanyaannya: apakah kebijakan ini cukup efektif untuk memerangi korupsi di Indonesia?
Skema Whistleblower di Berbagai Negara
Kebijakan memberikan imbalan bagi whistleblower bukanlah hal baru. Amerika Serikat, misalnya, memiliki skema lebih agresif dengan memberikan 10 persen hingga 30 persen dari total kerugian kepada pelapor. Sistem ini terbukti efektif dalam membongkar kasus-kasus besar, terutama di sektor keuangan dan pemerintahan.
Di beberapa negara lain, seperti Korea Selatan dan Inggris, program perlindungan bagi pelapor juga diperkuat dengan jaminan hukum dan keamanan. Perlindungan ini mencakup anonimitas, perlindungan hukum dari ancaman balas dendam, serta pendampingan hukum bagi pelapor. Dengan sistem yang matang, banyak individu berani melaporkan praktik korupsi tanpa takut kehilangan pekerjaan atau menghadapi intimidasi.
Tantangan dalam Implementasi di Indonesia
Meskipun aturan ini menjanjikan insentif finansial, masih ada beberapa tantangan yang perlu diperhatikan dalam implementasinya. Salah satunya adalah perlindungan bagi pelapor. Selama ini, banyak kasus di mana whistleblower justru mengalami ancaman, intimidasi, atau bahkan dikriminalisasi setelah mengungkap kasus korupsi.