Puncak pertempuran terjadi pada 22 Juni 1527. Pasukan Fatahillah menghadapi 500 prajurit Portugis yang dipimpin Duarte Coelho. Dengan taktik perang yang matang, pasukannya berhasil menghancurkan benteng Portugis dan menenggelamkan kapal-kapal mereka. Tak hanya itu, Fatahillah juga membumihanguskan segala jejak Portugis di wilayah tersebut.
Sebagai tanda kemenangan, ia mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta, yang berarti “kota kemenangan.” Sebuah deklarasi simbolis bahwa tanah ini bukan hanya bebas dari Portugis, tetapi juga siap menjadi pusat kebangkitan Islam dan perdagangan di Nusantara.
Warisan Fatahillah: Jejak yang Tak Terhapus Zaman
Fatahillah wafat pada tahun 1570 dan dimakamkan di Astana Gede, Cirebon. Namun, warisan yang ditinggalkannya tetap abadi hingga kini. Beberapa peninggalannya yang masih bisa kita lihat antara lain:
- Museum Fatahillah, yang dulunya merupakan balai kota Batavia, dibangun di atas bekas istana Fatahillah.
- Tugu Fatahillah, yang berdiri di depan museum, menggambarkan sosoknya dengan pedang dan tameng.
- Masjid Luar Batang, salah satu masjid tertua di Jakarta, yang konon didirikan oleh Fatahillah pada tahun 1527.
- Makam Fatahillah di Cirebon, yang menjadi tempat ziarah banyak orang.
- Nama Fatahillah, yang diabadikan menjadi nama jalan, gedung, dan institusi penting di Jakarta dan sekitarnya.
Fatahillah bukan hanya seorang panglima perang, tetapi juga simbol perlawanan dan identitas bangsa. Namanya akan terus dikenang sebagai sosok yang berjasa besar dalam membangun pondasi Jakarta, sekaligus sebagai pahlawan yang berhasil mengusir penjajah dari Nusantara. Sejarah telah mencatatnya sebagai Sang Penakluk Portugis dan Pendiri Jayakarta, sebuah gelar yang akan terus abadi dalam ingatan bangsa.