Kondusif – Setiap pejabat yang dilantik pasti melalui prosesi sumpah jabatan. Dengan kitab suci di atas kepala, mereka berjanji untuk menjalankan tugas dengan jujur, berintegritas, dan mengutamakan kepentingan rakyat. Prosesi ini bukan sekadar seremonial, melainkan sebuah pernyataan sakral yang mengikat seseorang kepada Tuhan dan negara.
Namun, seiring berjalannya waktu, banyak yang mulai mempertanyakan esensi sumpah jabatan ini. Apakah benar-benar menjadi benteng moral bagi pejabat? Ataukah hanya sekadar rangkaian kata yang diucapkan tanpa rasa takut? Yang lebih mengkhawatirkan, bagaimana pertanggungjawaban mereka di hadapan Tuhan jika sumpah tersebut dikhianati?
Makna Sumpah Jabatan dalam Perspektif Agama dan Hukum
Dalam ajaran Islam, sumpah bukanlah perkara sepele. Al-Qur’an dengan tegas mengingatkan dalam Surah An-Nahl ayat 91:
“Dan tepatilah janji dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu melanggar sumpah setelah diikrarkan, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.”
Ayat ini menegaskan bahwa janji yang telah diucapkan bukan sekadar kata-kata, melainkan perjanjian yang memiliki konsekuensi berat. Jika seorang pejabat melanggar sumpahnya, maka ia tidak hanya mengkhianati negara dan rakyat, tetapi juga mengkhianati Tuhan.
Dari sisi hukum negara, sumpah jabatan bertujuan untuk memperkuat komitmen pejabat agar tidak menyalahgunakan kewenangan yang diberikan. Dengan kekuasaan yang mereka miliki, mereka bisa membuat kebijakan yang berdampak luas bagi masyarakat. Oleh karena itu, sumpah jabatan harus menjadi pagar moral agar mereka tetap berada di jalur yang benar.
Namun, dalam kenyataannya, apakah sumpah ini benar-benar dijalankan dengan kesadaran penuh?
Kitab Suci: Simbol atau Pengingat Moral?
Di Indonesia, sumpah jabatan dilakukan dengan kitab suci yang diletakkan di atas kepala pejabat yang dilantik. Kitab suci dalam hal ini bukan sekadar simbol, tetapi diharapkan menjadi pengingat bahwa setiap kebijakan yang mereka buat akan dipertanggungjawabkan, baik di dunia maupun di akhirat.
Sayangnya, realitas berkata lain. Tidak sedikit pejabat yang telah bersumpah di bawah kitab suci, tetapi akhirnya terjerat kasus korupsi, penyalahgunaan wewenang, dan berbagai bentuk pengkhianatan terhadap rakyat. Mereka bersumpah atas nama Tuhan, tetapi tetap berbuat curang.
Apakah mereka lupa bahwa sumpah yang diucapkan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Tuhan? Ataukah mereka menganggap hukum dunia bisa dimanipulasi, sementara hukum akhirat bisa diabaikan?
Nabi Muhammad SAW bersabda: