Ciamis, Kondusif – Fajar baru saja menyingsing, embun masih menempel di ujung dedaunan, dan jalanan desa masih sepi. Di tengah keheningan itu, Maksum (77) melangkah pelan, memikul beban di pundaknya. Puluhan tampir (tampah anyaman bambu) bergoyang mengikuti ritme langkahnya yang sudah tak sekuat dulu. Nafasnya tersengal, kakinya gemetar, tapi ia tetap berjalan.
Tak ada kendaraan yang membawanya, tak ada siapa pun yang menemani. Hanya ada ia, tampir-tampirnya, dan harapan yang tersisa. Setiap hari, Maksum memulai perjalanan panjang dari rumahnya di Dusun Cirahab, Desa Mangkubumi, Kecamatan Sadananya, Kabupaten Ciamis. Ia menyusuri jalan-jalan desa, mengetuk pintu-pintu harapan, menawarkan tampir yang mungkin tak lagi banyak dibutuhkan orang.
Enam Puluh Satu Tahun Berjalan Sendiri

Bukan sehari dua hari Maksum menjalani hidup seperti ini. Sejak remaja, ia sudah menapaki jalan yang sama, memikul tampir yang sama, menghadapi letih yang sama. Enam puluh satu tahun berlalu, dan ia masih di sini berjalan kaki, menyusuri kampung demi kampung.
Dulu, ia masih muda, masih kuat. Langkahnya ringan, pundaknya kokoh. Kini, tubuhnya semakin ringkih, napasnya semakin pendek, tapi beban di pundaknya tetap sama. Setiap hari ia membawa sekitar 30 tampir, beratnya bisa mencapai 30 kilogram. Jika ke kota, ia bisa sampai ke Tasikmalaya. Jika ke desa-desa, ia melangkah hingga ke Kawali atau Panawangan.
“Kalau nggak dikeureuyeuh (dijalani dengan usaha), mau kerja apa lagi saya? Sehari-hari butuh makan, butuh pengeluaran. Lagian, siapa yang mau nanggung? Bantuan juga nggak dapat,” katanya lirih saat ditanya di pabrik kerupuk jengkol Bu Entin Senin (10/2/2025).
Ia tak pernah mengeluh panjang lebar, hanya sekadar mengungkapkan kenyataan. Tak ada tangan yang terulur untuk membantunya, tak ada keistimewaan yang ia dapatkan meskipun telah puluhan tahun berjuang.
Hidup Sebatang Kara di Usia Senja
Maksum bukan tak punya keluarga. Ia memiliki tujuh anak dan 23 cucu. Tapi sejak istrinya meninggal tahun lalu, ia hidup sendirian di rumah kecilnya di Dusun Cirahab. Anak-anaknya sudah berumah tangga, sibuk dengan kehidupan masing-masing.
Tak ada yang bisa ia andalkan selain dirinya sendiri. Setiap hari, ia berangkat dengan kaki yang mulai rapuh dan semangat yang tetap ia pertahankan, meski sering kali dunia terasa semakin sepi.